Sabtu, 15 Oktober 2011

PILAR KELUARGA SAKINAH


PILAR KELUARGA SAKINAH

Keluarga sakinah merupakan satu keadaan keluarga yang diidamkan dan menjadi tujuan utama dari sebuah pernikahan, sehingga tepatlah apa yang termaktub dalam pasal 1 Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974 yang meyebutkan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan yang maha esa.
Pasal 1 undang-undang perkawinan ini hanya menyebutkan “ keluarga yang bahagia dan kekal “, ini berarti bahwa tujuan utama dari sebuah pernikahan adalah terciptanya kebahagiaan bersama antara dua orang pria dan wanita bersama anak-anaknya yang lahir dari pernikahan tersebut dan kekal berarti, bahwa hubungan tersebut hanya bisa dipisahkan oleh kematian bukan perceraian.
Kebahagiaan letaknya di hati, sehingga pasangan yang dapat meraihnya hanyalah pasangan yang telah tercukupi kebutuhan hatinya.
Keluarga sakinah mawaddah dan rahmah mudah sekali untuk diucapkan dan menjadi do’a terhadap setiap pasangan yang baru saja menikah, akan tetapi sukar sekali untuk dipraktekkan, sehingga tidak setiap pasangan dapat meraihnya, bahkan mereka yang telah mengenal cukup lama atau telah berpacaran cukup lama juga belum tentu dapat meraih keluarga sakinah ketika mereka menikah. Mereka terpaksa dipisahkan oleh ketok palu hakim Pengadilan Agama atau bagi yang tidak sampai di Pengadilan Agama, mereka menahan penderitaan yang lama bersama pasangan, karena tidak mendapatkan kebahagiaan.
Pada kesempatan ini penyusun berusaha memberikan sedikit sumbangsih bagi pembaca Rindang yang berupa “ tiga pilar utama terbentuknya keluarga sakinah “ dengan harapan tulisan kecil ini menjadi bahan renungan bagi pasangan suami istri yang mengharapkan sakinah bersama keluarga. Tiga pilar tersebut adalah:
  1. Imam Yang Kuat
Iman yang kuat merupakan modal pertama bagi pasangan suami istri dalam menghadapi persoalan kehidupan berumah tangga. Manusia dalam kehidupannya akan terus mengalami ujian dari Allah SWT, baik yang berupa ujian kesenangan maupun ujian kesedihan atau kekurangan. Dua keadaan ini akan silih berganti ditimpakan Allah SWT kepada manusia. Bagi orang yang imannya kuat, apapun yang terjadi bukanlah sebuah persoalan, karena kekuatan imannya akan memunculkan keyakinan, bahwa apapun yang terjadi merupakan bagian dari takdir yang mau tidak mau memang harus dihadapi. Manusia tidak selamanya mengalami kesenangan, tetapi terkadang harus mengalami kesedihan, artinya antara kesenangan dan kesedihan akan silih berganti menimpa manusia.
Iman dikatakan sebagai landasan pertama karena keluarga yang imannya kuat akan mempunyai kecenderungan:
a.       Beryukur ketika ada ujian kenikmatan
Orang yang beriman cenderung akan bersyukur ketika dirinya atau keluarganya atau tetangganya mendapatkan nikmat. Nikmat itu diyakininya sebagai sebuah anugrah dan rahmat dari Allah SWT bukan semata dari hasil usahanya. Dengan ini semua, maka nikmat itu akan disyukuri dengan cara yang benar dan ditasarufkan dengan cara yang benar pila. Jika seorang suami,maka kalau nikmat itu berupa rizki, rizki itu akan ditasarufkan sebagai nafkah terhadap istri dan anak-anaknya serta berbagi kepada orang lain yang membutuhkan. Demikian juga dengan seorang istri yang imannya kuat, maka dia akan bersyukur dari nafkah yang diberikan oleh suaminya. Dia akan mengatur keluar masuknya keuangan dengan penuh kehati-hatian dengan harapan nafkah itu akan cukup untuk keperluan kehidupan berumah tangga. Anakpun juga demikian ketika iman mereka kuat. Mereka akan mampu merasakan betapa susahnya mencari rizki. Meraka akan meyakini bahwa tidak setiap hari Allah memberi rizki, sehingga merekapun akan berhati-hati dan tidak banyak tuntutan terhadap orang tuanya yang kemampuannya tidak sama antara orang tua yang satu dengan yang lain.
Berbeda dengan orang yang tidak beriman, karena jika mereka mendapatkan nikmat, maka dia tidak akan mampu bersyukur, tetapi cenderung berbangga diri, karena mereka beranggapan bahwa apa yang dia dapatkan merupakan hasil dari usahanya. Mereka melupakan Allah sang pemberi rizki. Mungkinkah Allah SWT merasakan kebahagiaan bagi orang – orang yang tidak pernah mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakanNya.
b.      Bersabar ketika dalam kesempitan dan musibah
Sebuah keluarga yang pandai bersyukur akan menyadari, bahwa tidak selamanya Allah SWT memberikan yang berupa anugrah atau nikmat. Mereka menyadari, bahwa suatu ketika Allah akan menggantinya dengan yang sebaliknya yang berupa ketidaksenangan atau kesempitan. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka mereka akan cenderung bersabar menghadapi kenyataan pahit yang sedang dihadapi oleh keluarganya. Hal ini karena dalam hati keluarga yang beriman ada keyakinan, bahwa Allah sedang menguji dan yakin bahwa ujian itu pasti akan berakhir dan akhirnya mendapatkan kembali nikmat yang harus disyukuri.
Sebaliknya, bagi keluarga yang tidak beriman, mereka akan terjadi frustasi ketika mendapatkan kekurangan dan kesempitan dan akan merasa menjadi keluarga yang paling sengsara di dunia. Hal ini karena mereka jauh dari Allah. Mungkinkan Allah memberikan kekuatan hati saat ada kesempitan bagi orang – orang yang tidak beriman.
Antara syukur dan sabar ibarat dua keeping mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan, karena yang dihadapi manusia adalah dua keadaan, yaitu senang dan susah, ada dan tiada, kekurangan dan kelebihan. Kita tentu menharapkan tetap tenang menghadapi dua keadaan itu.
c.       Qonaah terhadap taqdir
Di era moderen ini perkembangan keadaan begitu cepat karena majunya ilmu pengetahuan manusia. Sebuah keluarga dalam hatinya pasti berharap bisa seperti keluarga yang lain, contohnya jika tetangganya mampu membeli sebuah televise atau sepeda motor terbaru atau mampu mendirikan sebuah rumah yang indah, maka merekapun mengharapkan demikian. Jika hal itu ada kemampuan, maka hal itu bukan sebuah permasalahan, tetapi jika di luar kemampuan, itu akan jadi persoalan. Diantara mereka ada yang cari pinjaman sana – sini untuk membeli barang – barang seperti tetangganya yang sebenarnya hal itu diluar kemampuannya  ketika harus mengembalikan atau menjual sesuatu yang sebenarnya merupakan gantungan hidup keluarganya.
Mungkinkah bahagia bagi keluarga yang demikian ? Tentu tidak jawabannya, karena sebenarnya yang terjadi dalam diri keluarga yang demikian adalah kebahagiaan semu, karena di sisi lain mereka menderita lantaran dikejar hutang yang tiada mampu mengembalikan atau kehilangan sesuatu yang merupakan jalan rizki karena telah dijual. Yang perlu ditata dalam hati kita adalah menerima taqdir yang kita hadapi dengan penuh rasa ridlo, karena dalam keridloan itu akan muncul ketenangan. Sebuah keluarga yang imannya kuat akan meyakini, bahwa Allah mentaqdirkan manusia tidaklah sama. Diantara mereka ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang berpangkat dan ada yang tidak. Ketika ini disadari sebagai sebuah keadilan Ilahiyah, maka apapun bentuk taqdir yang menimpa, maka akan diterima dengan ikhlas dsan penuh keridloan. Dengan ini semua orang tidak akan iri atau dengki dengan kemikmatan orang lain, karena itu merupakan bagian dari taqdir. Mereka juga terhindar dari sikap keluh kesah terhadap keadaan yang kurang.
d.      Tawakkal sehabis berusaha
Keberhasilan, kesuksesan, rizki tiada mungkin datang dengan sendirinya, tetapi membutuhkan usaha dan ikhtiar serta do’a. Sebuah ayat Alqur’an menyebutkan, bahwa Allah tiada mungkin merubah nasib sebuah kaum, sehingga kaum itu merubah nasibnya sendiri. Ini artinya Allah akan memberikan sebuah keberhasilan setelah manusia berusaha. Seorang suami yang punya kewajiban nafkah, maka dia haruslah berusaha dengan cara bekerja keras agar mendapatkan nafkah yang nantinya dipergunakan untuk menghidupi keluarganya. Demikian juga dengan seorang istri yang mendapatkan nafkah, dia harus berfikir keras dalam hal mengelola nafkah, sehingga nafkah dari suaminya cukup untuk kehidupan sehari-hari.
Tetapi manusia hanyalah berusaha atau berikhtiar. Sukses atau tidaknya sebuah ikhtiar semua tergantung dari ketetapan yang maha kuasa. Orang yang imannya kuat akan selalu pasrah kepada Allah sesudah berikhtiar, karena ia yakin bahwa dirinya hanya punya kuwajiban berusaha, tetapi Allah jualah yang menentukan berhasil atau tidaknya. Inilah yang dinamakan tawakkal ( pasrah terhadap Allah sesudah berusaha ). Orang yang beriman juga meyakini, bahwa Allah SWT tidak mungkin menzalimi hambaNya, melainkan Allah akan memberikan sesuai yang telah ditakdirkan.
Keyakinan ini akan berpengaruh besar terhadap sikap manusia menhadapi kesuksesan atau kegagalan dari sebuah usaha. Sikap tawakkal akan menggiring pelaku kepada sikap syukur ketika sebuah ikhtiar berhasil dan menggiring kepada sikap sabar ketika usaha itu gagal atau tidak sesuai keadaan. Maka alangkah tenangnya orang yang pandai bertawakkal
e.       Khauf dan Raja’ terhadap Allah
Khauf adalah rasa takut terhadap murka Allah SWT. Sikap takut ini akan mendorong sebuah keluarga senantiasa tidak berani berbuat di luar yang telah digariskan Allah SWT. Seorang suami senantiasa melaksanakan kewajibannya sebagai seorang pemimpin keluarga dan memberinya nafkah dari rizki yang halal. Seorang istri akan senantiasa taat kepada suaminya dan selalu berhati – hati ketika mentasarufkan nafkah dari suaminya. Demikian juga anak – anak mereka yang akan senantiasa berbakti kepada kedua orang tuanya. Semuanya dilakukan karena takut akan murka Allah dan senantiasa berharap terhadap ridloNya.
f.        Meniatkan nikah sebagai ibadah
Niat merupakan sebuah kekuatan ketika seseorang melakukan sebuah perbuatan. Sebuah hadits menyebutkan, bahwa segala amal perbuatan berhasil atau tidaknya tergantung dari niatnya dan seseorang akan memperoleh sesuai dengan apa yang diniatkan.
Seseorang baik laki-laki atau perempuan yang meniatkan nikahnya dalam rangka ibadah kepada Allah ( melaksanakan perintahNya dan menjalankan sunnah rasulNya ), maka ia akan mendapatkan ketenangan dari pernikahannya tersebut. Niat ibadah akan mendidik seorang suami menyadari kedudukannya sebagai sang imam yang mempunyai tugas berat membawa istri dan anak-anaknya kepada keridloan Allah dan mencarikan nafkah mereka dengan cara – cara yang benar. Niat ibadah akan mendidik seorang istri menyadari kedudukannya sebagai seorang istri, di mana ia mempunyai kewajiban taat pada suami sang pemimpin rumah tangga pada hal – hal yang tidak dilarang agama, menjaga kehormatannya. Niat ibadah ini akan berpengaruh terhadap kelanggengan sebuah sikap.
Kewajiban suami merupakan hak dari seorang istri dan kewajiban seorang istri merupakan hak seorang suami. Seoarang suami dan seorang istri akan merasa bahagia ketika dalam kehidupan berumah tangga telah mendapatkan hak-haknya
Berbeda ketika niat seseorang yang menikah bukan karena ibadah, maka seseorang kadang merasa tidak mendapatkan haknya. Suami kadang tidak mendidik dan memberi nafkah secara maksimal dan seorang istri kadang tidak taat dan tidak menjaga diri. Mungkinkan kebahagiaan akan langgeng jika keadaannya demikian ?.
  1. Taqwa yang sempurna
Taqwa merupakan realisasi dari keimanan seseorang. Taqwa akan dibuktikan dengan pelaksanaan perintah Allah SWT dan meninggalkan maksiat. Ketaqwaan seorang suami akan diwujudkan berupa pelaksanaan kewajiban mendidik, membimbing dan meneladani  istri dan anak – anaknya dalam hal ibadah kepada Allah serta mencarikan nafkah dengan cara yang benar. Ketaqwaan seorang istri akan diwujudkan dengan cara taat kepada seorang suami dan menjaga kehormatannya.
Maka alangkah indahnya jika sebuah keluarga yang suami, istri dan anak-anaknya yang masing – masing ahli ibadah dan tentu karena mereka dekat dengan Allah, maka tentu kebahagiaanlah yang dirasakan.
  1. Akhlaqul Karimah
Manusia tiada mungkin hidup sendiri, melainkan ia butuh orang lain. Seorang suami butuh istri, istri butuh suami, orang tua butuh anak dan anak butuh orang tua. Suami istri butuh tetangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar