Sabtu, 15 Oktober 2011

PILAR KELUARGA SAKINAH


PILAR KELUARGA SAKINAH

Keluarga sakinah merupakan satu keadaan keluarga yang diidamkan dan menjadi tujuan utama dari sebuah pernikahan, sehingga tepatlah apa yang termaktub dalam pasal 1 Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974 yang meyebutkan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan yang maha esa.
Pasal 1 undang-undang perkawinan ini hanya menyebutkan “ keluarga yang bahagia dan kekal “, ini berarti bahwa tujuan utama dari sebuah pernikahan adalah terciptanya kebahagiaan bersama antara dua orang pria dan wanita bersama anak-anaknya yang lahir dari pernikahan tersebut dan kekal berarti, bahwa hubungan tersebut hanya bisa dipisahkan oleh kematian bukan perceraian.
Kebahagiaan letaknya di hati, sehingga pasangan yang dapat meraihnya hanyalah pasangan yang telah tercukupi kebutuhan hatinya.
Keluarga sakinah mawaddah dan rahmah mudah sekali untuk diucapkan dan menjadi do’a terhadap setiap pasangan yang baru saja menikah, akan tetapi sukar sekali untuk dipraktekkan, sehingga tidak setiap pasangan dapat meraihnya, bahkan mereka yang telah mengenal cukup lama atau telah berpacaran cukup lama juga belum tentu dapat meraih keluarga sakinah ketika mereka menikah. Mereka terpaksa dipisahkan oleh ketok palu hakim Pengadilan Agama atau bagi yang tidak sampai di Pengadilan Agama, mereka menahan penderitaan yang lama bersama pasangan, karena tidak mendapatkan kebahagiaan.
Pada kesempatan ini penyusun berusaha memberikan sedikit sumbangsih bagi pembaca Rindang yang berupa “ tiga pilar utama terbentuknya keluarga sakinah “ dengan harapan tulisan kecil ini menjadi bahan renungan bagi pasangan suami istri yang mengharapkan sakinah bersama keluarga. Tiga pilar tersebut adalah:
  1. Imam Yang Kuat
Iman yang kuat merupakan modal pertama bagi pasangan suami istri dalam menghadapi persoalan kehidupan berumah tangga. Manusia dalam kehidupannya akan terus mengalami ujian dari Allah SWT, baik yang berupa ujian kesenangan maupun ujian kesedihan atau kekurangan. Dua keadaan ini akan silih berganti ditimpakan Allah SWT kepada manusia. Bagi orang yang imannya kuat, apapun yang terjadi bukanlah sebuah persoalan, karena kekuatan imannya akan memunculkan keyakinan, bahwa apapun yang terjadi merupakan bagian dari takdir yang mau tidak mau memang harus dihadapi. Manusia tidak selamanya mengalami kesenangan, tetapi terkadang harus mengalami kesedihan, artinya antara kesenangan dan kesedihan akan silih berganti menimpa manusia.
Iman dikatakan sebagai landasan pertama karena keluarga yang imannya kuat akan mempunyai kecenderungan:
a.       Beryukur ketika ada ujian kenikmatan
Orang yang beriman cenderung akan bersyukur ketika dirinya atau keluarganya atau tetangganya mendapatkan nikmat. Nikmat itu diyakininya sebagai sebuah anugrah dan rahmat dari Allah SWT bukan semata dari hasil usahanya. Dengan ini semua, maka nikmat itu akan disyukuri dengan cara yang benar dan ditasarufkan dengan cara yang benar pila. Jika seorang suami,maka kalau nikmat itu berupa rizki, rizki itu akan ditasarufkan sebagai nafkah terhadap istri dan anak-anaknya serta berbagi kepada orang lain yang membutuhkan. Demikian juga dengan seorang istri yang imannya kuat, maka dia akan bersyukur dari nafkah yang diberikan oleh suaminya. Dia akan mengatur keluar masuknya keuangan dengan penuh kehati-hatian dengan harapan nafkah itu akan cukup untuk keperluan kehidupan berumah tangga. Anakpun juga demikian ketika iman mereka kuat. Mereka akan mampu merasakan betapa susahnya mencari rizki. Meraka akan meyakini bahwa tidak setiap hari Allah memberi rizki, sehingga merekapun akan berhati-hati dan tidak banyak tuntutan terhadap orang tuanya yang kemampuannya tidak sama antara orang tua yang satu dengan yang lain.
Berbeda dengan orang yang tidak beriman, karena jika mereka mendapatkan nikmat, maka dia tidak akan mampu bersyukur, tetapi cenderung berbangga diri, karena mereka beranggapan bahwa apa yang dia dapatkan merupakan hasil dari usahanya. Mereka melupakan Allah sang pemberi rizki. Mungkinkah Allah SWT merasakan kebahagiaan bagi orang – orang yang tidak pernah mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakanNya.
b.      Bersabar ketika dalam kesempitan dan musibah
Sebuah keluarga yang pandai bersyukur akan menyadari, bahwa tidak selamanya Allah SWT memberikan yang berupa anugrah atau nikmat. Mereka menyadari, bahwa suatu ketika Allah akan menggantinya dengan yang sebaliknya yang berupa ketidaksenangan atau kesempitan. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka mereka akan cenderung bersabar menghadapi kenyataan pahit yang sedang dihadapi oleh keluarganya. Hal ini karena dalam hati keluarga yang beriman ada keyakinan, bahwa Allah sedang menguji dan yakin bahwa ujian itu pasti akan berakhir dan akhirnya mendapatkan kembali nikmat yang harus disyukuri.
Sebaliknya, bagi keluarga yang tidak beriman, mereka akan terjadi frustasi ketika mendapatkan kekurangan dan kesempitan dan akan merasa menjadi keluarga yang paling sengsara di dunia. Hal ini karena mereka jauh dari Allah. Mungkinkan Allah memberikan kekuatan hati saat ada kesempitan bagi orang – orang yang tidak beriman.
Antara syukur dan sabar ibarat dua keeping mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan, karena yang dihadapi manusia adalah dua keadaan, yaitu senang dan susah, ada dan tiada, kekurangan dan kelebihan. Kita tentu menharapkan tetap tenang menghadapi dua keadaan itu.
c.       Qonaah terhadap taqdir
Di era moderen ini perkembangan keadaan begitu cepat karena majunya ilmu pengetahuan manusia. Sebuah keluarga dalam hatinya pasti berharap bisa seperti keluarga yang lain, contohnya jika tetangganya mampu membeli sebuah televise atau sepeda motor terbaru atau mampu mendirikan sebuah rumah yang indah, maka merekapun mengharapkan demikian. Jika hal itu ada kemampuan, maka hal itu bukan sebuah permasalahan, tetapi jika di luar kemampuan, itu akan jadi persoalan. Diantara mereka ada yang cari pinjaman sana – sini untuk membeli barang – barang seperti tetangganya yang sebenarnya hal itu diluar kemampuannya  ketika harus mengembalikan atau menjual sesuatu yang sebenarnya merupakan gantungan hidup keluarganya.
Mungkinkah bahagia bagi keluarga yang demikian ? Tentu tidak jawabannya, karena sebenarnya yang terjadi dalam diri keluarga yang demikian adalah kebahagiaan semu, karena di sisi lain mereka menderita lantaran dikejar hutang yang tiada mampu mengembalikan atau kehilangan sesuatu yang merupakan jalan rizki karena telah dijual. Yang perlu ditata dalam hati kita adalah menerima taqdir yang kita hadapi dengan penuh rasa ridlo, karena dalam keridloan itu akan muncul ketenangan. Sebuah keluarga yang imannya kuat akan meyakini, bahwa Allah mentaqdirkan manusia tidaklah sama. Diantara mereka ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang berpangkat dan ada yang tidak. Ketika ini disadari sebagai sebuah keadilan Ilahiyah, maka apapun bentuk taqdir yang menimpa, maka akan diterima dengan ikhlas dsan penuh keridloan. Dengan ini semua orang tidak akan iri atau dengki dengan kemikmatan orang lain, karena itu merupakan bagian dari taqdir. Mereka juga terhindar dari sikap keluh kesah terhadap keadaan yang kurang.
d.      Tawakkal sehabis berusaha
Keberhasilan, kesuksesan, rizki tiada mungkin datang dengan sendirinya, tetapi membutuhkan usaha dan ikhtiar serta do’a. Sebuah ayat Alqur’an menyebutkan, bahwa Allah tiada mungkin merubah nasib sebuah kaum, sehingga kaum itu merubah nasibnya sendiri. Ini artinya Allah akan memberikan sebuah keberhasilan setelah manusia berusaha. Seorang suami yang punya kewajiban nafkah, maka dia haruslah berusaha dengan cara bekerja keras agar mendapatkan nafkah yang nantinya dipergunakan untuk menghidupi keluarganya. Demikian juga dengan seorang istri yang mendapatkan nafkah, dia harus berfikir keras dalam hal mengelola nafkah, sehingga nafkah dari suaminya cukup untuk kehidupan sehari-hari.
Tetapi manusia hanyalah berusaha atau berikhtiar. Sukses atau tidaknya sebuah ikhtiar semua tergantung dari ketetapan yang maha kuasa. Orang yang imannya kuat akan selalu pasrah kepada Allah sesudah berikhtiar, karena ia yakin bahwa dirinya hanya punya kuwajiban berusaha, tetapi Allah jualah yang menentukan berhasil atau tidaknya. Inilah yang dinamakan tawakkal ( pasrah terhadap Allah sesudah berusaha ). Orang yang beriman juga meyakini, bahwa Allah SWT tidak mungkin menzalimi hambaNya, melainkan Allah akan memberikan sesuai yang telah ditakdirkan.
Keyakinan ini akan berpengaruh besar terhadap sikap manusia menhadapi kesuksesan atau kegagalan dari sebuah usaha. Sikap tawakkal akan menggiring pelaku kepada sikap syukur ketika sebuah ikhtiar berhasil dan menggiring kepada sikap sabar ketika usaha itu gagal atau tidak sesuai keadaan. Maka alangkah tenangnya orang yang pandai bertawakkal
e.       Khauf dan Raja’ terhadap Allah
Khauf adalah rasa takut terhadap murka Allah SWT. Sikap takut ini akan mendorong sebuah keluarga senantiasa tidak berani berbuat di luar yang telah digariskan Allah SWT. Seorang suami senantiasa melaksanakan kewajibannya sebagai seorang pemimpin keluarga dan memberinya nafkah dari rizki yang halal. Seorang istri akan senantiasa taat kepada suaminya dan selalu berhati – hati ketika mentasarufkan nafkah dari suaminya. Demikian juga anak – anak mereka yang akan senantiasa berbakti kepada kedua orang tuanya. Semuanya dilakukan karena takut akan murka Allah dan senantiasa berharap terhadap ridloNya.
f.        Meniatkan nikah sebagai ibadah
Niat merupakan sebuah kekuatan ketika seseorang melakukan sebuah perbuatan. Sebuah hadits menyebutkan, bahwa segala amal perbuatan berhasil atau tidaknya tergantung dari niatnya dan seseorang akan memperoleh sesuai dengan apa yang diniatkan.
Seseorang baik laki-laki atau perempuan yang meniatkan nikahnya dalam rangka ibadah kepada Allah ( melaksanakan perintahNya dan menjalankan sunnah rasulNya ), maka ia akan mendapatkan ketenangan dari pernikahannya tersebut. Niat ibadah akan mendidik seorang suami menyadari kedudukannya sebagai sang imam yang mempunyai tugas berat membawa istri dan anak-anaknya kepada keridloan Allah dan mencarikan nafkah mereka dengan cara – cara yang benar. Niat ibadah akan mendidik seorang istri menyadari kedudukannya sebagai seorang istri, di mana ia mempunyai kewajiban taat pada suami sang pemimpin rumah tangga pada hal – hal yang tidak dilarang agama, menjaga kehormatannya. Niat ibadah ini akan berpengaruh terhadap kelanggengan sebuah sikap.
Kewajiban suami merupakan hak dari seorang istri dan kewajiban seorang istri merupakan hak seorang suami. Seoarang suami dan seorang istri akan merasa bahagia ketika dalam kehidupan berumah tangga telah mendapatkan hak-haknya
Berbeda ketika niat seseorang yang menikah bukan karena ibadah, maka seseorang kadang merasa tidak mendapatkan haknya. Suami kadang tidak mendidik dan memberi nafkah secara maksimal dan seorang istri kadang tidak taat dan tidak menjaga diri. Mungkinkan kebahagiaan akan langgeng jika keadaannya demikian ?.
  1. Taqwa yang sempurna
Taqwa merupakan realisasi dari keimanan seseorang. Taqwa akan dibuktikan dengan pelaksanaan perintah Allah SWT dan meninggalkan maksiat. Ketaqwaan seorang suami akan diwujudkan berupa pelaksanaan kewajiban mendidik, membimbing dan meneladani  istri dan anak – anaknya dalam hal ibadah kepada Allah serta mencarikan nafkah dengan cara yang benar. Ketaqwaan seorang istri akan diwujudkan dengan cara taat kepada seorang suami dan menjaga kehormatannya.
Maka alangkah indahnya jika sebuah keluarga yang suami, istri dan anak-anaknya yang masing – masing ahli ibadah dan tentu karena mereka dekat dengan Allah, maka tentu kebahagiaanlah yang dirasakan.
  1. Akhlaqul Karimah
Manusia tiada mungkin hidup sendiri, melainkan ia butuh orang lain. Seorang suami butuh istri, istri butuh suami, orang tua butuh anak dan anak butuh orang tua. Suami istri butuh tetangga.

Rabu, 12 Oktober 2011

KOMPILASI HUKUM ISLAM


KOMPILASI HUKUM ISLAM *

BUKU I
HUKUM PERKAWINAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Yang dimaksud dengan :
a. Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara
seorang pria dengan seorang wanita,
b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya,
yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;
c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;
d. Mahar adalah pemberiandari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk
barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;
e. Taklil-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang;
f. Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri
atau bersam suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta
bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;
g. Pemeliharaan atak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memeliharadan mendidik anaka
hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri;
h. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai
kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
i. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau
iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya;
j. Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa bendaatau uang
dan lainnya.
BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN
Pasal 2
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32
Tahun 1954.
* Disalin dari ”Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam
Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001.
Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, seyiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan
dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai
kekuatan Hukum.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya
ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka,
wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan
Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik
talak.
Pasal 9
(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat
dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan
permohonan ke Pengadilan Agama.
Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah.
BAB III
PEMINANGAN
Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh,
tapi dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya.
Pasal 12
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seotrangwanita yang masih perawan atau terhadap janda
yang telah habis masa iddahya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang
untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria
tersebut belum putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan
atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang
dipinang.
Pasal 13
(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan
peminangan.
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai
dengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling
menghargai.
BAB IV
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Rukun
Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.
Bagian Kedua
Calon Mempelai
Pasal 15
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon
mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun
1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurangkurangnya
berumur 16 tahun
(2) Bagi calon mempelai yang bgelum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana
yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.
Pasal 16
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan
tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang
tegas.
Pasal 17
(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu
persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu
tidak dapat dilangsungkan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan
dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Pasal 18
Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan
perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.
Bagian Ketiga
Wali Nikah
Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita
yang bertindak untuk menikahkannya
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam
yakni muslim, aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari :
a. Wali nasab;
b. Wali hakim.
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu
didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon
mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah
dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan
keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah
dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan
laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak
menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat
kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali
nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung
atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan
mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau
oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali
bergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak
mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau
enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah
setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Bagian Keempat
Saksi Nikah
Pasal 24
(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil
baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta menandatangani Akta
Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
Bagian Kelima
Akad Nikah
Pasal 27
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang
waktu.
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah
mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 29
(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain sengan ketentuan
calon mempelai pria memeberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas
akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,maka akad
nikah tidak boleh dilangsungkan.
BAB V
MAHAR
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk
dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran
Islam.
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya.
Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk
seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belumditunaikan penyerahannya menjadi hutangcalon
mempelai pria.
Pasal 34
(1) Kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan rukun dalm perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumalh mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya
perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya
perkawinan.
Pasal 35
(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah
ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka
sumai wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama
bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai
dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelasaian
diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap
bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas.
(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan
mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih
belum dibayar.
BAB VI
LARANGAN KAWIN
Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
(1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
(2) Karena pertalian kerabat semenda :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan
tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi
masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut
sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau
masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan
sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.
Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria
lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.
BAB VII
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1. Taklik talak dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pasal 46
(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
(2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidek dengan
sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan
persoalannya
ke pengadilan Agama.
(3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi
sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 47
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat
perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam
perkawinan.
(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan harta
pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan
kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta
bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka
perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga.
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap
tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung
biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masingmasing
ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa
percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga
percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung
mulai
tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan
wajib
mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan
(3) sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak
ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam
suatu surat kabar setempat.
(4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan,
pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian y7ang telah
diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri untuk memeinta pembatalan
nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh
doiperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan
dinikahinya itu.
BAB VIII
KAWIN HAMIL
Pasal 53
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dialngsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang
setelah anak yang dikandung lahir.
Pasal 54
(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga
boleh bertindak sebagai wali nikah.
(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram
perkawinannya tidak sah.
BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri
dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri
dari seorang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan
Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan
Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1
Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak
mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,
persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun
telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada
sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau
isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun
atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari
satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan
Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi.
BAB X
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 60
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum
Islam dan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan
melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan.
Pasal 61
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu
karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.
Pasal 62
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan
lurus ke bawah, saudar, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan
pihak-pihak yang bersangkutan
(2) Ayah kandung yang tidak penah melaksankan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak
kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akna dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Pasal 63
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam
perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan
melangsungkan perkawinan.
Pasal 64
Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila
rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.
Pasal 65
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana
perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan
dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Pasal 66
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belu dicabut.
Pasal 67
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada
Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau denganputusan Pengadilan Agama.
Pasal 68
Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan
perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9,
pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan
perkawinan.
Pasal 69
(1) Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut
Undang-undanf No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan
oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut
disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan
berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan
tersebut diatas.
(4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memebrikan
ketetapan, apabila akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya
perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan
tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang
maksud mereka.
BAB XI
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 70
Perkawinan batal apabila :
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah
mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i;
b. seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya;
c. seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas
isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan pria
tersebut dan telah habis masa iddahnya;
d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan
sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang
No.1 Tahun 1974, yaitu :
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataukeatas.
2. berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
4. berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman
sesusuan.
e. isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya.
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang-undang No.1. tahun 1974;
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada
waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau
isteri
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat
menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atauisteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.
d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut
dalam pasal 67.
Pasal 74
(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
a. perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad;
b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan
pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang
tuanya.
BAB XII
HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 77
(1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat
(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
bathin yang satui kepada yang lain;
(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik
mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
(4) suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
(5) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Agama
Pasal 78
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama.
Bagian Kedua
Kedudukan Suami Isteri
Pasal 79
(1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
(2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Bagian Ketiga
Kewajiban Suami
Pasal 80
(1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal
urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.
(2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar
pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(4) sesuai dengan penghasislannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai
berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada
ayat (4) huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.
Bagian Keempat
Tempat Kediaman
Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang
masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan,
atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain,
sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat
menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan
dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga
maupun sarana penunjang lainnya.
Bagian Kelima
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dan Seorang
Pasal 82
(1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tiggaldan
biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah
keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
(2) Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat
kediaman.
Bagian Keenam
Kewajiban Isteri
Pasal 83
(1) Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang
dibenarkan oleh hukum islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaikbaiknya.
Pasal 84
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
(2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4)
huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
BAB XIII
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing
suami atau isteri.
Pasal 86
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap
menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
Pasal 87
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai
hasiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian
perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri.
Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.
Pasal 91
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau
tidak berwujud.
(2) Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat
berharga.
(3) Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan
pihak lainnya.
Pasal 92
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan
harta bersama.
Pasal 93
1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan
kepada harta bersama.
3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri
Pasal 94
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,masingmasing
terpisah dan berdiri sendiri.
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang
sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua,
ketiga atau keempat.
Pasal 95
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun
1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya
permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
2. Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga
dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96
1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih
lama,.
2. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang
harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum
atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
BAB XIV
PEMELIHARAAN ANAK
Pasal 98
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
Pengadilan.
3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan
kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
Pasal 99
Anak yang sah adalah :
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Pasal 100
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya.
Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat
meneguhkan pengingkarannya dengan li`an.
Pasal 102
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari
sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak
dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan
Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukansesudah lampau waktu terebut tidak dapat diterima
Pasal 103
(1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah.
(3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran
yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan akta kelahiran bagi
anak yang bersangkutan.
Pasal 104
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah
meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi
nafkah kepada ayahnya atau walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa
kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah
atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya.
Pasal 106
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau
dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali
karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keslamatan anak itu menghendaki atau
suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari
kewajiban tersebut pada ayat (1).
BAB XV
PERWALIAN
Pasal 107
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.
(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan
Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untukbertindak sebagai wali atas permohonan
kerabat tersebut.
(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau oranglain yang sudah dewasa,
berpiiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian
atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 109
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan
menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatbya bila wali tersebut pemabuk, penjudi,
pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi
kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Pasal 110
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan
sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan
lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebanni dan mengasingkan harta orang yang berada dibawah
perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah
perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan.
(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan
mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1
tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang
ditutup tiap satu tahun satu kali.
Pasal 111
(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila
yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah.
(2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan
antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan
kepadanya.
Pasal 112
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang
diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali fakir.
BAB XVI
PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 113
Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian,
b. Perceraian, dan
c. atas putusan Pengadilan.
Pasal 114
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian.
Pasal 115
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain
dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e. sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami menlanggar taklik talak;
k. peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Pasal 117
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.
Pasal 118
Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa
iddah.
Pasal 119
1. talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan
bekas suaminya meskipun dalam iddah.
2. Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
a. talak yang terjadi qabla al dukhul;
b. talak dengan tebusan atahu khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 120
Talak Ba`in Kubraa adalah talak y6ang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk
dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri,
menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.
Pasal 121
Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci
dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122
Talak bid`I adalahtalak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan
haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
Pasal 123
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan
Pasal 125
Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamnya.
Pasal 126
Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan
atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran
tersebut.
Pasal 127
Tata cara li`an diatur sebagai berikut :
a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut
diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau
pengingkaran tersebut dusta”
b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran gtersebut dengan sumpah empat kali dengan kata
“tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata
murka Allah atas dirinya :tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;
c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an.
Pasal 128
Li`an hanya sah apabila dilakukann di hadapan sidang Pengadilan Agama.
Bagian Kedua
Tata Cara Perceraian
Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan
maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan
alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan
tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi
Pasal 131
1. Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam
waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta
penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak danternyata cukup alasan
untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagihidup rukun dalamrumah
tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk